Kamis, 10 Maret 2011

Perkembangan sosial anak sampai dewasa


PERKEMBANGAN INDIVIDU DARI ASPEK SOSIAL

A. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang unik, yang diciptakan Tuhan dengan segenap kesempurnaan, meskipun begitu manusia tidak mampu hidup sendiri, manusia hidup dalam komunitas yang saling membutuhkan, saling melengkapi karena itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa  : Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
Bersosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan social, bagaimana seharusnya seseorang hidup didalam kelompoknya, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok masyarakat luas. Pada akhirnya pergaulan sesame manusia menjadi suatu kebutuhan.

B. MAKNA PERKEMBANGAN SOSIAL
Sudah menjadi keniscayaan, manusia akan selalu berkembang sebagai sebuah proses yang alamiah. Menurut Santrock (h. 20, 2002) perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan. Pola gerakan adalah kompleks karena gerakan merupakan produk dari beberapa proses yaitu biologis, kognitif, dan sosial. Jadi perkembangan adalah suatu perubahan yang lazim dilalui semua individu akibat adanya pematangan dan pengalaman yang didapat dari interaksi antara proses biologis, kognitif, dan sosial.
Sedangkan Perkembangan sosial merupakan proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; melebur diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.(Yusuf:2009:122)
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi (sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Menurut Hurlock (1996) tiga proses dalam perkembabangan sosial adalah sbb:
·         Berperilaku dapat di terima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang prilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak hanya harus mengetahui prilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagian  
·         Memainkan peran di lingkungan sosialnya
Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.
·         Memiliki Sikap yang positif terhadap kelompok Sosialnya
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
Perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosial psikologi manusia pada proses yang lebih luas dan kompleks. Perkembangan tersebut adalah sebagai tugas yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh setiap individu dalam perjalanan hidupnya, atau dengan perkataan lain perjalanan hidup manusia ditandai dengan berbagai tugas perkembangan yang harus  ditempuh. Diakui bahwa organisme manusia sangatlah kompleks, demikian pula faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Kompleksnya interaksi tiap individu dengan lingkungannya akan menggambarkan banyak jenis pengalaman yang berbeda-beda yang pada gilirannya akan bisa mengubah intensitas nilai tehadap dirinya dan terhadap orang lain. Kenyataan ini semakin terasa dalam struktur masyarakat dewasa ini.
Untuk itu disini akan diuraikankan faktor-faktor yang mempengaruhi pengkembanga induvidu dalam aspek sosial.  Pada dasarnya setiap fase perkembangan individu secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangannya yaitu faktor internal dan faktor Eksternal. Faktor Internal yaitu faktor dalam diri individu itu sendiri, atau yang disebut dengan bakat, bakat alam yang dibawanya sejak lahir, ini adalah kanunia dari Tuhan yang sudah tidak bisa diutak utik lagi. Sedangkan Faktor eksternal antara lain dipengaruhi oleh:
1.      Faktor   Keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan individu, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
            Pengertian keluarga disini menurut Syamsu Yusuf (2009:36) membagi keluarga dalam dua bentuk atau pola keluarga yaitu: 1). keluarga inti (nuclear Family) yaitu terdiri atas suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan anatara keduanya dan yang belum berkeluarga. 2). Keluarga Luas (Extedted Family) yaitu yang anggota keluarganya tidak hanya meliputi suami, istri, dan anak-anak yang belum berkeluarga saja, tetapi juga kerabat lain yang biasanya tinggal dalam rumah tangga bersama seperti mertua, adik, kakak ipar atau lainnya bahkan mungkin pembantu rumah tangga atau orang lain yang ikut menumpang.

2.      Faktor Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku sosial akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Tingkat ekonomi secara tidak langsung tetap akan mempengaruhi pola sosialisasi. Sehingga ada istilah si kaya dan si miskin, namun ketika perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan yang lain mampu kita sikapi secara arif  dan positif maka tidak akan ada lagi kesenjangan, justru berbedaan itu merupakan rahmatan lil alamin.
3.      Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan merupakan faktor yang turut mempengaruhi perkembangan sosial, Pendidikan mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap dengan lingkungannya. Kecenderungannya tingkat  pendidikan  yang tinggi, atau pengetahuan yang luas maka seseorang akan semakin memahami bagaimana harus memposisikan diri dalam lingkungan sosialnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan membuatnya lebih bijak dan bisa berinteraksi sosial dengan baik.

4.  Faktor Lingkungan Sosial.
Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan perkembangan sosial yang berbeda.  Pengaruh pribadi terhadap pribadi lain di rumah, di kantor, dan di mana saja yang memungkinkan hubungan yang cukup sering terjadi, akan memengaruhi kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan sosialnya.
lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat. Karena itu, lingkungan sosial sewajarnya menjadi perhatian kita semua, agar bisa menjadi lingkungan yang baik, berfungsi sebagai control sosial. Agar perilaku-perilaku sosial yang negatif bisa teredam dengan segera.


D. Proses Perkembangan Sosial Pada Setiap Periode Perkembangan
Dalam perkembangan manusia dialami sepanjang rentang kehidupan manusia yaitu ketika terjadi konsepsi sampai saat bayi lahir yang disebut sebagai masa prenatal, masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa. Masing-masing tahapan perkembangan ini memiliki karakteristik perilaku yang berbeda satu sama lain.
Karena memiliki karakteristik perilaku yang berbeda satu sama lain maka dalam setiap periode perkembangan juga memiliki problem sosial yang berbeda pula. Entah masalah yang dialami maupun masalah sosial yang muncul ketika memasuki periode perkembangan tertentu.

A.    Periode Perkembangan dalam Kandungan (Pra-Natal)
Pada masa periode ini, beberapa problem sosial dialami secara tidak langsung yaitu melalui perantara ibu yang hamil. Problem sosial yang dialami oleh ibu hamil juga dirasakan secara tidak langsung oleh anak pada masa pra natal. Salah satu problem sosial ini adalah: keadaan emosi seorang ibu.
 Maksudnya adalah keadaan emosi yang dialami juga dirasakan oleh ibu, entah karena disebabkan terjadi masalah dalam keluarga, ataupun masalah sosial mengenai kehamilan ibu (hamil diluar nikah). Perubahan emosi pada ibu hamil menurut penelitian menyebabkan susunan saraf otonom akan melepaskan beberapa zat kimiawi ke dalam aliran darah, sehingga metabolisme dalam tubuh akan mengalami perubahan. Dengan begitu, akan terjadi perubahan sistem sirkulasi pada janin, dan akan mengganggu perkembangan janin. Apabila hal ini terjadi dapat mempengaruhi emosi janin, karena emosi janin sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu saat mengandung. Menurut Hurlock (2006:28) pada saat ini sifat-sifat bauran yang berfungsi sebagai dasar bagi perkembangan selanjutnya, diturunkan sekali untuk selamanya, oleh karena itu meskipun bayi didalam kandungan belum bersinggungan dengan lingkungan sosial secara langsung namun dia akan tetap menerima respon-respon dari luar yang diterimanya, dan mulai saat inipula kita sudah harus mulai memberikan pendidikan sebagai dasar atau pondasi dalam kehidupannya kelak.
B.     Periode Perkembangan Masa bayi
Periode masa bayi berlangsung saat bayi baru lahir hingga usia 2 tahun. Pada masa ini, bayi banyak melakukan eksplorasi terhadap banyak hal. Dimana terdapat berbagai resiko, untuk itu dalam masa ini bayi masih sangat ketergantungan terhadap orang lain. Untuk itu, dalam masa ini juga bayi sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan yang diterimanya. Dan juga masa ini juga menjadi dasar dalam masa mendatang, untuk itu pengaruh sosial yang diterima bayi haruslah memberikan contoh yang baik.
Sosialisasi awal bayi bisa dimulai sejak awal kehidupannya. kontak mata ternyata memainkan peranan yang begitu penting dalam interaksi sosial awal (Fogel, Toda & Kawai, dalam Santrock :1995)
pengalaman social yang dini memainkan peranan yang penting dalam menentukan hubungan social dimasa depan dan pola perilaku terhadap orang-orang lain. Dan karena kehidupan bayi berpusat di sekitar rumah, maka dirumahlah diletakkan dasar perilaku dan sikap sosialnya kelak.
Penelitian tentang penyesuaian social anak-anak yang lebih besar dan bahkan perilaku remaja menunjukkan pentingnya peletakan dasar-dasar sosial pada masa bayi. Menurut Hurlock: 1996 hal ini berdasarkan dua alasan. Pertama; jenis perilaku yang diperlihatkan bayi-bayi dalam situasi social mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosialnya. Alasan kedua mengapa dasar-dasar social yang dini itu penting adalah bahwa dasar-dasar itu cenderung menetap kalau anak menjadi lebih besar. Anak yang pada saat bayi banyak menangis cenderung agresif dan menunjukkkan perilaku-perilaku yang mencari perhatian lain. Sebaliknya bayi-bayi yang ramah dan lebih bahagia biasanya penyesuaian sosialnya lebih baik apabila telah menjadi besar nantinya.
3. Periode Perkembangan Masa Kanak-kanak
Pada masa ini berlangsung pada usia 2 tahun sampai 11 tahun, dimana perkembangan daya pengamatan dan masa keindahan sedang berkembang. Masa ini anak suka mengamati dunia luarnya, serta suka mendengar cerita yang sesuai dengan fantasinya.
Sikap anak-anak terhadap orang lain dalam bergaul sebagian besar akan sangat tergantung pada pengalaman belajarnya selama tahun-tahun awal kehidupan, yang merupakan masa pembentukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Maka ada empat faktor yang mempengaruhinya :
Pertama, kesempatan yang penuh untuk bersosialisasi adalah penting bagi anak-anak, karena ia tidak dapat belajar hidup bersosialisasi jika kesempatan tidak dioptimalkan. Tahun demi tahun mereka semakin membutuhkan ksempatan untuk bergaul dengan banyak orang, jadi tidak hanya dengan anak yang umur dan tingkat perkembangannya sama, tetapi juga dengan orang dewasa yang umur dan lingkungannya yang berbeda.
Kedua, dalam keadaan bersama, anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan dapat menceritakannya secara menarik kepada orang lain. Perkembangan bicara merupakan hal yang terpenting bagi perkembangan sosialisasi anak.
Ketiga, anak akan belajar bersosialisasi jika mereka mempunyai motivasi untuk melakukannya. Motivasi ini sangat bergantung pada tingkat kepuasaan yang diberikan kelompok sosialnya kepada anak. Jika mereka memperoleh kesenangan melalui hubungan dengan orang lain, mereka akan mengulangi hubungan tersebut.
Keempat, metode belajar yang efektif dengan bimbingan yang tepat adalah penting. Dengan metode coba ralat, anak akan mempelajari beberapa perilaku yang penting bagi perilaku sosialnya.
Dalam masa ini, merupakan masa dimana anak belajar atau menyukai bergabung dalam sebuah kelompok. Diawali dengan keinginan kontak sosial dengan anak lain dan bermain. Masa ini juga sering disebut sebagai masa bermain, karena anak lebih senang untuk bermain-main dengan anak-anak lain. Perilaku sosial pada anak muncul disebabkan dengan meniru perilaku orang lain, belajar model dari teman.
Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupannya, juga bagi yang pernah mengalami situasi Pra Sekolah. Sementara untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan bagi sebagian anak terasa sulit, karena kebanyakan anak berada dalam keadaan tidak seimbang; anak mengalami gangguan emosional, sehingga sulit untuk dapat bekerja sama. Oleh karena itu, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting yang sangat menentukan bagi perkembangan sosialnya sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, prilaku dan nilai bagi anak.
Akhir masa anak-anak sering disebut sebagai ”usia berkelompok”, (geng) karena pada masa ini ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok di sekolahnya. Ia merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri di rumah atau dengan saudara kandung atau melakukan kegiatan dengan angota keluarga. Anak ingin bermain bersama teman-teman sekolahnya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya tersebut.
Sosialisasi anak di sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interest dan aktvitas bersama. Hubungan persahabatan dan hubungan peer group di sekolah bersifat timbal balik dan biasanya diantara sesama anggota kelompok ada saling pengertian, saling membantu, saling percaya dan saling menghargai serta menerima satu sama lain.
Pada saat mereka melakukan kegiatan biasanya anggota kelompok terdiri dari teman yang sama jenis kelaminya daripada diantara anak-anak yang berbeda jenis kelaminnya.
Pada masa akhir anak-anak mereka telah menjalin persahabatan dengan teman sebaya dan mulai memasuki usia gang, yaitu usaha yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat dan telah menjadi pribadi sosial yang merupakan salah salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini.
Kebutuhan berkelompok ini menurut harlock: 2006 disebut sebagai ”Geng anak”. Geng pada masa kanak-kanak merupakan suatu kelompok yang spontan dan tidak mempunyai tujuan yang diterima secara sosial. Geng merupakan usaha anak untuk menciptakan suatu masyarakat yang sesuai bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Geng memberikan pembebasan dari pengawasan orang dewasa.
Keanggotaan kelompok dapat menimbulkan akibat yang kurang baik pada anak-anak, diantaranya adalah:
1.        Menjadi anggota geng seringkali menimbulkan pertentangan dengan orang tua dan penolakan terhadap standar orang tua, sehingga akan memperlemah ikatan emosional antara kedua pihak.
2.        Permusuhan antara anak laki-laki dan anak perempuan semakin meluas. Hal ini disebabkan karena anak perempuan mencapai masa puber lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Sehingga anak perempuan akan tampil lebih dewasa dibanding anak laki-laki.
3.        Kecenderungan anak yang lebih tua untuk mengembangkan prasangka terhadap anak yang berbeda sehingga sering terjadi prasangka dan diskriminasi berdasarkan pada perbedaan rasial, agama dan sosial ekonomi.
4.        Seringkali bersikap kejam terhadap anak-anak yang tidak dianggap sebagai anggota geng. Banyaknya rahasia yang ada diantara anggota geng dimaksudkan untuk menjauhkan anak yang tidak disenangi. (Hurlock:2006)

Secara umum Syamsu Yusuf merinci Bentuk-bentuk tingkah laku social pada anak adalah sebagai berikut:
a.       Pembangkangan (negativisme) yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak
b.        Agresi (Agression) yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustasi (karena tidak terpenuhi kebutuhan/keinginan) yang dialaminya.
c.         Berselisih/bertengkar (quarreling) terjadi apabila seorang anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain.
d.        Menggoda (teasing) yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Merupakan serangan mental terhadap orang lain sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.
e.         Persaingan (rivaly) yaitu keinginan untuk selalu melebihi orang lain dan selalu didorong (distimulasi) orang lain.
f.         Kerjasama (Cooperation) yaitu sifat mau bekerjasama dengan kelompok. Mulai usia empat tahun anak sudah mulai menampakkan sikap kerjasamanya dengan anak lain. Pada usia enam atau tujuh tahun sikap kerjasama ini semakin berkembang menjadi lebih baik.
g.        Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior) yaitu sejenis tingkah laku untuk menguasai situasi sosial  menguasai atau bersikap “bossiness
h.        Mementingkan diri sendiri (selfishness) yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya.
i.          Simpati (sympathy) yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengannya.

4.        Periode Perkembangan Masa Remaja
Masa remaja merupakan salah satu fase dari perkembangan individu yang sering disebut sebagai masa rawan atau masa kritis. Dimana secara fisik dia sudah mulai tumbuh sebagaimana orang dewasa tapai secara emosional dia masih labil.  Masa remaja memiliki ciri yang berbeda dengan masa sebelum atau sesudahnya, sehingga masa remaja menjadi menarik untuk dibicarakan.  Usia masa remaja dimulai pada usia 11 tahun sampai dengan 18 tahun.
Problem sosial yang sering muncul pada masa ini adalah remaja lebih berkelompok dalam sebuah “geng” dimana rasa solidaritas remaja dituntut di dalam “geng” tersebut. Selain itu remaja juga cenderung merasa ingin untuk diperhatikan oleh orang lain dengan cara menonjolkan diri dan menaruh perhatian kepada orang lain. Dan juga remaja juga sering untuk menerima aturan serta berusaha menentang otoritas untuk urusan pribadinya.
Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar berorganisasi, memilih pemimpin dan mematuhi aturan kelompok. Sekalipun dalam hak-hal tertentu tindakan suatu kelompok kurang memperhatikan norma umum yang berlaku di masyarakat, karena yang lebih diperhatikan adalah keutuhan kelompoknya. Didalam mempertahankan dan melawan “serangan” kelompok lain, lebih dijiwai keutuhan kelompoknya tanpa memperdulikan objektifitas kebenaran. (Sunarto;2008)
Perkembangan sosial pada masa remaja dapat dilihat dari dua ciri khas yaitu mulai terbentuknya kelompok teman sebaya baik dengan jenis kelamin yang sama atau dengan jenis kelamin yang berbeda dan mulai memisahkan diri dari orang tua.
A. Kelompok Teman Sebaya
Percepatan perkembangan pada masa remaja mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial. Sebelum memasuki masa remaja biasanya anak sudah mampu menjalin hubungan yang erat dengan teman sebaya. Seiring dengan itu juga timbul kelompok anak-anak untuk bermain bersama atau membuat rencana bersama. Sifat yang khas kelompok anak sebelum remaja adalah bahwa kelompok tadi terdiri daripada jenis kelamin yang sama. Persamaan sex ini dapat membantu timbulnya identitas jenis kelamin dan yang berhubungan dengan perasaan identifikasi yang mempersiapkan pengalaman identitasnya. Sedangkan pada masa puber anak sudah mulai berani untuk melakukan kegiatan dengan lawan jenisnya dalam berbagai kegiatan.
Masa-masa awal perpindahan dari anak-anak menjadi seorang remaja cenderung memiliki keanggotaan yang lebih luas. Dengan kata lain, teman-teman atau tetangga seringkali adalah anggota kelompok remaja. Biasanya kelompoknya lebih heterogen daripada kelompok teman sebaya. Misalnya kelompok teman sebaya pada masa remaja cenderung memiliki suatu campuran individu-individu dari berbagai kelompok. Interaksi yang semakin intens menyebabkan kelompok bertambah kohesif. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat maka akan berkembanglah iklim dan norma-norma kelompok tertentu. Namun hal ini berbahaya bagi pembentukan identitas dirinya. Karena pada masa ini ia lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada mengembangkan pola pribadi. Tetapi terkadang adanya paksaan dari norma kelompok membuatnya sulit untuk membentuk keyakinan diri.

B.Melepas dari orang tua
Tuntutan untuk memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman-teman sebaya merupakan suatu reaksi terhadap status intern anak muda. Sesudah mulainya pubertas timbul suatu diskrepansi yang besar antara kedewasaan jasmaniah dengan ikatan sosial pada milienu orang tua. Dalam keadaan seperti ini banyak pertentangan-pertentangan antara remaja awal dengan orang tua, (wangmuba:2009) diantaranya:
·           Perbedaan standar perilaku
Remaja awal sering menganggap bahwa standar perilaku orang tuanya kuno sedangkan dirinya dianggap modern. Mereka mengharapkan agar orang tuanya mau menyesuaikan diri dengan perilakunya yang modern.
·           Merasa menjadi korban
Remaja sering merasa benci kalau status sosial ekonominya tidak memungkinkan mempunyai simbol status yang sama dengan teman sebayanya. Seperti pakaian, sepatu, accecoris,dll. Pada usia ini ia paling tidak suka jika diperintah mengerjakan pekerjaan di rumah.


§   Prilaku yang kurang matang
Biasanya orang tua mengembangkan pola menghukum bila para remaja mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalaikan tanggung jawab dan jajan semaunya. Pelarangan dan menghukum membuatnya benci kepada orang tua.
·           Masalah palang pintu
Kehidupan sosial yang aktif menyebabkan ia sering melaggar peraturan. Seperti waktu pulang dan mengenai dengan siapa dia berhubungan, terutama dengan lawan jenis.
·           Metode Disiplin
Jika metode disiplin yang diterapkan orang tua dianggap tidak adil atau kekanak-kanakan maka remaja akan memberontak. Pemberontakan terbesar dalam keluarga terjadi jika salah satu orang tua dominan daripada lainnya. Hal ini menyebabkan pola asuh cenderung otoriter.

Di Indonesia perkembangan remaja masih ada keterbatasannya. Di satu sisi walaupun ingin melepas dari orang tua namun pada kebanyakan remaja awal masih tinggal bersama orang tua. Selain itu juga secara ekonomik masih bergantung kepada orang tua. 
Menurut Maccoby (1984) sistem hubungan orang tua dan anak dalam keluarga berubah dari hubungan regulasi menjadi hubungan yang coregulasi., dimana dalam hal ini orang tua telah makin memberikan kebebasan untuk menentukan sendiri pada anak. Hal ini bukan berarti menghalangi hubungan yang koperatif antara orang tua dan anak-anaknya. Biasanya komunikasi yang terjalin dengan ibu jauh lebih dekat daripada dengan ayah. Komunikasi dengan ibu meliputi permasalahan sehari-hari, sedangkan permasalahan dengan ayah perasaan remaja dalam hidup di masyarakat.
Pada anak wanita pelepasan ini agak lebih sukar hal ini disebabkan adanya interaksi antara sifat kewanitaanya dengan nilai-nilai masyarakat di sekelilingnya. Di Indonesia khususnya dalam masyarakat Jawa anak wanita diharapkan untuk mencintai orang tua dan keluarga dalam arti yang lebih,misalnya merawat, memelihara dan bertanggung jawab terhadap rumah dan keluarga. Namun demikian bukan berarti bahwa anak wanita tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam masyarakat.
Dalam masa remaja ini , keinginan untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya sendiri.
Jarak antar generasi yang dimaksudkan disini bukan berarti bahwa tidak ada hubungan baik. Memang pada kenyataannya pada usia anak seperti ini orang tua sering tidak mengerti melakukan hal-hal yang tidak seperti mereka harapkan. Biasanya pada saat ini mulai muncul bibit-bibit pertentangan antara anak dan orang tua. Berdasarkan hasil penelitian perbedaan pendapat antara anak dan orang tua antara lain penampilan, pemilihan teman, jam pulang sekolah yang tidak tepat, kurang hormat terhadap orang yang lebih tua, dll. Memang pada saat ini remaja lebih progresif dibandingkan orang tuanya.


5.        Periode Perkembangan Masa Dewasa
Pada masa dewasa ini, individu telah menyelesaikan tugas perkembangannya secara umum dan siap memikul status dan tanggung jawabnya dalam masyarakat bersama dengan orang lain. Pada masa ini problem sosial lebih terfokus pada hubungan keluarga dan dalam dunia kerja.
Pada masa dewasa madya muncul pada usia 40 tahun hingga 60 tahun, pada masa ini merupakan masa dimana dalam kehidupan sosial individu lebih selektif dalam memilih teman. Selain itu pada dewasa madya individu telah berada pada posisi puncak karir dan ekonomi sehingga mereka mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial dan mempunyai banyak peluang untuk menjadi pemimpin.
Bagaimanapun pola hubungan social dalam periode dewasa ini sangat dipengaruhi oleh status kelas social seseorang (Hurlock:2006) mereka yang status social ekonominya tinggi akan lebih aktif pada masa usia tersebut dibandungkan dengan mereka yang status social ekonominya rendah
Masa dewasa juga sering disebut sebagai masa berbahaya karena biasanya penyakit yang biasanya tidak dirasakan akan lebih terasa, selain itu beban pikiran akan mudah untuk menyebabkan stress.
Pada masa dewasa akhir dimulai pada usia 60 tahun, pada masa ini terjadi banyak sekali penurunan kemampuan individu. Baik secara fisik maupun psikis, beban pekerjaan dan keluarga akan lebih berkurang dan kehidupan sosialnya pun semakin berkurang dikarenakan kurangnya kemampuan.

C.    KESIMPULAN
a.      Dalam setiap periode memiliki karakteristik perilaku yang berbeda, sehingga juga menunjukkan bahwa setiap periode memiliki problem sosial yang berbeda-beda.
b.   …………………………….
c……………………………………….













Daftar Pustaka
Achmad Mk (2009). “Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan awal peserta didik. Dalam http:// One.indosripsi.com
Faiz mh (2009). “Problem – Problem perkembangan social pada setiap periode perkembangannya”, dalam http://Faiz perjuangan.wordpress.com. (on line 18 oktober 2009)
Fitri (2009), Perkembangan social anak-anak, dalam Http:/dunia Psikologi. Dagdigdug.com.(online 19 Oktober 2009)
Hurlock, Elizabeth, B., Perkembangan Anak, (Jakarta :Erlangga,1993)
Hurlock, Elizabeth, B., Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2006)
Santrock, John W, Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup,Edisi 5 Jilid I (Jakarta, Erlangga:1995).
Sunarto Prof. Dr.H & Hartono, Dra.Ny. B.Agung, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta, Rineka Cipta:1995)
Yusuf, Syamsu Dr.H. M.Pd, Psikologi Perkembangan anak dan Remaja, (Bandung, Remaja Rosda Karya: 2009)

Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling


LANDASAN FILOSOFIS BIMBINGAN DAN KONSELING

A.       Makna Filsafat
Secara etimologis kata filosofis atau filsafat merupakan bahasa arab yang berasal dari kata Yunani filosofia (Philosophia). Filisofia merupkan kata majemuk yang terdiri dari kata filo (philos) yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu dan sofia (shopos) artinya kebijaksanaan atau hikmah. Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu secara mendalam.
Ahli filsafat lain mengartikan bahwa filsafat tersebut adalah “suatu usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini.” (Sikun Pribadi,1981). Dapat diartikan juga sebagai perenungan atau pemikiran tentang kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, religi serta sosial budaya.
Kalau dikaji secara umum, bahwa manusia selalu bertanya-tanya tentang makna atau hakikat segala sesuatu , termasuk hakikat dirinya sendiri. Pertanyaan tersebut misalnya : Apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan kemana perginya? Siapakah saya ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya tidak mudah untuk dijawab karena memerlukan perenungan yang mendalam.
B.       Fungsi Filsafat
Pada dasarnya, mempelajari filsafat tidak hanya sebatas memikirkan sesuatu sebagai perwujudan dari hasrat atau keinginan untuk mengetahui sesuatu (coriosity), melainkan filsafat tersebut memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan manusia. Fungsi tersebut antara lain, yaitu :
1.      Setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan.
2.      Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
3.      Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik
4.      Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah
Dengan berfilsafat, seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Dimana keputusan tersebut memiliki konsekuansi tertentu yang harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Dalam hal ini menghadapi konsekuensi sebagai wujud tanggung jawab bukan berdasar suatu paksaan, melainkan lahir dari kesadaran akan nilai kemanusiaan yang melekat pada dirinya, yaitu bahwa manusia adalah mahluk yang bertanggungjawab atas perbuatan atau tindakannya sendiri.
Implikasinya adalah bahwa orang yang mencintai hikmah atau berpikir bijaksana (berfilsafat) dalam mengambil suatu keputusan akan senantiasa didasarkan pada pertimbangan yang matang untuk menemukan sesuatu yang dipandang baik atau bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga keputusan yang diambilnya akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, namun akan mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam kehidupan yang serba kompleks.
Pembahasan mengenai makna dan fungsi filsafat di atas dalam kaitannya dengan layanan bimbingan konseling, Prayitno dan Erman Amti (2003:203-204) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa “pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana. ” Dengan demikian, bagi konselor diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu, pemikiran filosofis tersebut juga akan memungkinkan membantu konselor menjadikan hidupnya lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam upaya penerapan segala bentuk tugas-tugasnya dalam membatu individu/konseli.




C.       Prinsip-prinsip landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling
Selain pemahaman mengenai fungsi filsafat dalam hubungannya dengan konteks bimbingan konseling, maka perlu pula dipahami mengenai prinsip-prinsip yang tertuang dalam landasan folosofis tersebut. John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu :
a.         Objective Viewing / berpandangan objektif
Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat, atau keinginannya secara konstruktif.  Seseorang akan merasakan suatu dilema apabila dia tidak merasa mempunyai pilihan.  Dengan adanya layanan bimbingan dan konseling, maka klien akan dapat menggali atau menemukan potensi dirinya, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap bentuk-bentuk pristiwa hidup yang dialami klien.
b.         The Counselor must have the best interest of the client at heart.
Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien menghadapi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilannya untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).

Selain prinsip di atas, John J. Pietrofesa et.al. (1980) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan, yaitu :
1.        Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu (konseli) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
2.        Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
3.        Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
4.        Bimbingan bukan prerogative kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilakukan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
5.        Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
6.        Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi, dan sosialisasi.

D.      Hakikat Manusia
Landasan filosofis berkenaan dengan pandangan terhadap makna atau hakikat manusia. Hakikat manusia adalah suatu pandangan mengenai baimana manusia itu sebenarnya.Pemaknaan terhadap hakikat manusia tersebut biasanya dikembangkan sesuai dengan pendekatan suatu teori dalam bimbingan dan konseling. Di bawah ini terdapat beberapa para ahli /mazab konseling yang memaparkan tentang hakikat manusia, yaitu :
1.    Victor E.Frankl (Prayitno dan Erman Amti, tt 207-208) mengemukakan bahwa hakikat manusia itu, digambarkan sebagai berikut:
a.       Manusia, selain  memiliki dimensi fisik dan psikologi, juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut harus dikaji secara mendalam jika manusia tersebut hendak dipahami dengan sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah, manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
b.      Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri.
c.       Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri.

2.    Sigmud Freud, mengemukakan pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu:
a.       Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik.
b.      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
c.       Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian energi psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.
d.      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos)
e.       Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principal)

3.    Passons (Robert L. Gibson & Mariane H. Mitchel,1986:121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) yang merupakan tokoh terapi konseling Gestal, yaitu:
a.       Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi,dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagaian-bagian tersebut.
b.      Individu merupakan bagian dari lingkungannya, sehingga individu baru dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.
c.       Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reaktor.
d.      Individu memiliki kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran,emosi,dan persepsinya.
e.       Individu memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan, sebab ia menyadarinya.
f.       Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.
g.      Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.
h.      Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.
4.    Beck (Blocher,1974) mengemukakan pandangan tentang hakikat manusia, yaitu:
a.       Manusia bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri. Dia mempunyai pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.
b.      Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfleksikan dalam pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.
c.       Manusia eksis di dunia nyata,dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.
d.      Hidup yang bermakna harus menghilangkan ancaman yang dihadapi, baik pisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.
e.       Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berprilaku yang berbeda satu sama lainnya.
f.       Manusia berprilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.
g.      Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).
h.      Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).

5.    B.F. Skinner dan Watson (Gearld Corey, terjemahan E.Koeswara,1988) mengemukakan tentang hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia dipandang memiliki kecendrungan –kecendrungan positif dan negatif yang sama.
b.      Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Dalam arti bahwa lingkungan merupakan pembentuk utama keberadaan manusia.
c.       Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari.
d.      Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri.
6.    Albert Ellis (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988) yang merupakan tokoh terapi konseling Rasional Emotif berpendapat bahwa hakikat manusia adalah sebagai berikut, yaitu :
a.       Manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
b.      Manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mencintai, bergabung dengan orang lain,serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri.
c.       Manusia juga memiliki kecendrungan-kecendrungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan secara tak berkesudahan, takhyul, intoleransi, perfeksionisme,mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri
d.      Manusia dilahirkan dengan kecendrungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan, tuntutan, hasrat, dan kebutuhan dalam hidupnya; jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
e.       Manusia berpikir, beremosi,dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir,sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.

7.    Carl Rogers (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988:91), merupakan tokoh terapi konseling Client Centered mengemukakan tentang hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia menurut kodratnya adalah rasional
b.      Manusia berkecendrungan merusak dirinya maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi.
c.       Manusia tersosialisasi dan bergerak ke muka
d.      Manusia berjuang untuk berfungsi penuh
e.       Manusia memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang mendalam
f.       Manusia dipercayai karena kooperatif dan konstruktif.

8.    Eric Berne (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988:157), merupakan tokoh terapi konseling Analisis Transaksional memiliki pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia sanggup melampaui pengkondisian atau pemrograman awal (antideterministik).
b.      Manusia sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan mampu memilih untuk memutuskan ulang.
c.       Manusia memiliki kesanggupan untuk untuk tampil di luar pola-pola kebiasaan dan menyeleksi tujuan dan tingkah laku baru.
d.      Manusia memiliki pilihan-pilihan dan tidak terbelenggu oleh masa lampaunya.

9.    Aliran Humanistik, memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia. Para ahli teori humanistic (May, Maslow,Frankl, dan Jourard) mempunyai keyakinan tentang hakikat manusia, sebagai berikut:
a.         Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri
b.        Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, yang dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
c.         Manusia adalah mahluk rasional dan sadar,tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional, atau konflik.


E.       Tujuan dan Tugas Kehidupan
Hidup sebagai manusia merupakan mahluk yang memiliki kelebihan diabandingkan mahluk hidup lainnya, khususnya dalam segi pemikiran. Dengan kelebihan tersebut manusia dapat mengarahkan hidupnya sesuai dengan apang yang hendak dicapainya.
1.      Tujuan Kehidupan
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, sejahtera, nyaman dan menyenangkan. Secara ekstrim, Freud mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan (pleasure principal) dan menghindar dari rasa sakit (kondisi yang tidak menyenangkan). Dapat dikatakan bahwa manusia hanya ingin menikmati kesenangannya saja dan selalu menghindar dari hal yang merugikan dirinya.

2.      Tugas Kehidupan
Prayitno dan Erman Amti (2002:10-13) mengemukakan model Witner dan Sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka, ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat itu ditandai dengan lima kategori tugas kehidupan, yaitu:
a.    Spiritualitas. Dalam kategori ini, agama digunakan sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi lain dari aspek spiritualitas ini adalah (1) kemampuan memberikan makna kepada kehidupan,(2) optimis terhadap kejadian-kejadian yang akan datang, dan (3) diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta dalam pengambilan keputusan.
b.   Pengaturan Diri. Seseorang yang mengamalkan hidup sehat dalam dirinya memiliki ciri-ciri: (1) rasa diri berguna, (2) pengendalian diri, (3) pandangan realistik,(4) spontanitas dan kepekaan emosional, (5) kemampuan rekayasa intelektual, (6) pemecahan masalah, (7) kreatif, (8) kemampuan berhumor, dan (9) kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
c.    Bekerja. Dengan bekerja seseorang akan memperoleh keuntungan ekonomis (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan), psikologis (rasa percaya diri, dan perwujudan diri), dan social (status dan persahabatan).
d.   Persahabatan. Persahabatan merupakan hubungan sosial, baik antar individu maupun dalam masyarakat secara lebih luas, yang tidak dapat melibatkan unsur-unsur perkawinan dan keterikatan ekonomis. Persahabatan ini memberikan tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan material, (3) dukungan informasi.
e.    Cinta. Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling kerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak,dan teman merupakan tiga pilar paling utama bagi keseluruhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan dan persahabatan secara signifikan berkontribusi kepada kebahagiaan hidup.
Paparan mengenai hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir atau nalar (nadhar) para ahli mempunyai implikasi kepada layanan bimbingandan konseling. Dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap klien yang seyogyanya didasarkan kepada harkat dan martabat kemanusiaannya manusia.

F.       Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling bagi Bangsa Indonesia
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern seperti yang dijabarkan dalam hakikat manusia di atas.
Bagi bangsa Indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah Pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut, yaitu:
1.    Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan koseling tersebut adalah memfasilitasi individu/peserta didik agar mampu:
a.    Mengembangkan potensi, fitrah, atau jati dirinya sebgai mahluk Tuhan, dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaran-Nya.
b.    Mengembangkan sifat-sifat yang positif,seperti respek terhadap harkat dan martabat diri sendiri dan orang lain, dan bersikap empati.
c.    Mengembangkan sifat kooperatif,kolaboratif, toleransi,dan altruis(ta’awun bilma’ruf)
d.   Mengembangkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain,bersikap terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat.
e.    Mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan dan pekerjaan)
2.   Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersifat respek, terhadap orang lain, mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
3.   Perlunya melakukan penataan lingkungan (fisik dan social budaya) yang mendukung terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya yang bisa diimplementasikan, yaitu :
a.    Menata lingkungan hidup yang hijau berbunga dan bersih dari polusi udara, air dan limbah/sampah.
b.    Mencegah atau memberantas kriminalitas, minuman keras, judi, dan penggunaan obat-obat terlarang (seperti narkoba/Naza).
c.    Menghentikan tayangan-tayangan televisi yang merusak nilai-nilai Pancasila, seperti tayangan yang merusak aqidah dan akhlak (moral) warga masyarakat, terutama anak-anak dan remaja.
d.   Memberantas korupsi dan melakukan clean government (pemerintahan yang bersih)

DAFTAR PUSTAKA

Hall,Calvin,S. (1995). Introduction to Theories of Personality. United States : Public Art Collection
Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akdemik). Jakarta
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Corey, Gerlald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Suherman, Uman. 2009. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rizqi Press
Yusuf,S.,& Nurishan,J. 2009. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf,S.,& Nurishan,J.2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.