Kamis, 10 Maret 2011

Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling


LANDASAN FILOSOFIS BIMBINGAN DAN KONSELING

A.       Makna Filsafat
Secara etimologis kata filosofis atau filsafat merupakan bahasa arab yang berasal dari kata Yunani filosofia (Philosophia). Filisofia merupkan kata majemuk yang terdiri dari kata filo (philos) yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin mengetahui segala sesuatu dan sofia (shopos) artinya kebijaksanaan atau hikmah. Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu secara mendalam.
Ahli filsafat lain mengartikan bahwa filsafat tersebut adalah “suatu usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini.” (Sikun Pribadi,1981). Dapat diartikan juga sebagai perenungan atau pemikiran tentang kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, religi serta sosial budaya.
Kalau dikaji secara umum, bahwa manusia selalu bertanya-tanya tentang makna atau hakikat segala sesuatu , termasuk hakikat dirinya sendiri. Pertanyaan tersebut misalnya : Apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan kemana perginya? Siapakah saya ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya tidak mudah untuk dijawab karena memerlukan perenungan yang mendalam.
B.       Fungsi Filsafat
Pada dasarnya, mempelajari filsafat tidak hanya sebatas memikirkan sesuatu sebagai perwujudan dari hasrat atau keinginan untuk mengetahui sesuatu (coriosity), melainkan filsafat tersebut memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan manusia. Fungsi tersebut antara lain, yaitu :
1.      Setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan.
2.      Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
3.      Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik
4.      Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah
Dengan berfilsafat, seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Dimana keputusan tersebut memiliki konsekuansi tertentu yang harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Dalam hal ini menghadapi konsekuensi sebagai wujud tanggung jawab bukan berdasar suatu paksaan, melainkan lahir dari kesadaran akan nilai kemanusiaan yang melekat pada dirinya, yaitu bahwa manusia adalah mahluk yang bertanggungjawab atas perbuatan atau tindakannya sendiri.
Implikasinya adalah bahwa orang yang mencintai hikmah atau berpikir bijaksana (berfilsafat) dalam mengambil suatu keputusan akan senantiasa didasarkan pada pertimbangan yang matang untuk menemukan sesuatu yang dipandang baik atau bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga keputusan yang diambilnya akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, namun akan mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam kehidupan yang serba kompleks.
Pembahasan mengenai makna dan fungsi filsafat di atas dalam kaitannya dengan layanan bimbingan konseling, Prayitno dan Erman Amti (2003:203-204) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa “pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana. ” Dengan demikian, bagi konselor diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dan dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu, pemikiran filosofis tersebut juga akan memungkinkan membantu konselor menjadikan hidupnya lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam upaya penerapan segala bentuk tugas-tugasnya dalam membatu individu/konseli.




C.       Prinsip-prinsip landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling
Selain pemahaman mengenai fungsi filsafat dalam hubungannya dengan konteks bimbingan konseling, maka perlu pula dipahami mengenai prinsip-prinsip yang tertuang dalam landasan folosofis tersebut. John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu :
a.         Objective Viewing / berpandangan objektif
Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat, atau keinginannya secara konstruktif.  Seseorang akan merasakan suatu dilema apabila dia tidak merasa mempunyai pilihan.  Dengan adanya layanan bimbingan dan konseling, maka klien akan dapat menggali atau menemukan potensi dirinya, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap bentuk-bentuk pristiwa hidup yang dialami klien.
b.         The Counselor must have the best interest of the client at heart.
Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien menghadapi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilannya untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).

Selain prinsip di atas, John J. Pietrofesa et.al. (1980) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan, yaitu :
1.        Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu (konseli) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
2.        Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
3.        Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
4.        Bimbingan bukan prerogative kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilakukan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
5.        Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
6.        Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi, dan sosialisasi.

D.      Hakikat Manusia
Landasan filosofis berkenaan dengan pandangan terhadap makna atau hakikat manusia. Hakikat manusia adalah suatu pandangan mengenai baimana manusia itu sebenarnya.Pemaknaan terhadap hakikat manusia tersebut biasanya dikembangkan sesuai dengan pendekatan suatu teori dalam bimbingan dan konseling. Di bawah ini terdapat beberapa para ahli /mazab konseling yang memaparkan tentang hakikat manusia, yaitu :
1.    Victor E.Frankl (Prayitno dan Erman Amti, tt 207-208) mengemukakan bahwa hakikat manusia itu, digambarkan sebagai berikut:
a.       Manusia, selain  memiliki dimensi fisik dan psikologi, juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut harus dikaji secara mendalam jika manusia tersebut hendak dipahami dengan sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah, manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
b.      Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri.
c.       Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri.

2.    Sigmud Freud, mengemukakan pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu:
a.       Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik.
b.      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
c.       Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian energi psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.
d.      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos)
e.       Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principal)

3.    Passons (Robert L. Gibson & Mariane H. Mitchel,1986:121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) yang merupakan tokoh terapi konseling Gestal, yaitu:
a.       Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi,dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagaian-bagian tersebut.
b.      Individu merupakan bagian dari lingkungannya, sehingga individu baru dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.
c.       Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reaktor.
d.      Individu memiliki kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran,emosi,dan persepsinya.
e.       Individu memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan, sebab ia menyadarinya.
f.       Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.
g.      Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.
h.      Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.
4.    Beck (Blocher,1974) mengemukakan pandangan tentang hakikat manusia, yaitu:
a.       Manusia bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri. Dia mempunyai pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.
b.      Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfleksikan dalam pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.
c.       Manusia eksis di dunia nyata,dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.
d.      Hidup yang bermakna harus menghilangkan ancaman yang dihadapi, baik pisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.
e.       Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berprilaku yang berbeda satu sama lainnya.
f.       Manusia berprilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.
g.      Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).
h.      Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).

5.    B.F. Skinner dan Watson (Gearld Corey, terjemahan E.Koeswara,1988) mengemukakan tentang hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia dipandang memiliki kecendrungan –kecendrungan positif dan negatif yang sama.
b.      Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Dalam arti bahwa lingkungan merupakan pembentuk utama keberadaan manusia.
c.       Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari.
d.      Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri.
6.    Albert Ellis (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988) yang merupakan tokoh terapi konseling Rasional Emotif berpendapat bahwa hakikat manusia adalah sebagai berikut, yaitu :
a.       Manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
b.      Manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mencintai, bergabung dengan orang lain,serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri.
c.       Manusia juga memiliki kecendrungan-kecendrungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan secara tak berkesudahan, takhyul, intoleransi, perfeksionisme,mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri
d.      Manusia dilahirkan dengan kecendrungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan, tuntutan, hasrat, dan kebutuhan dalam hidupnya; jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
e.       Manusia berpikir, beremosi,dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir,sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.

7.    Carl Rogers (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988:91), merupakan tokoh terapi konseling Client Centered mengemukakan tentang hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia menurut kodratnya adalah rasional
b.      Manusia berkecendrungan merusak dirinya maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi.
c.       Manusia tersosialisasi dan bergerak ke muka
d.      Manusia berjuang untuk berfungsi penuh
e.       Manusia memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang mendalam
f.       Manusia dipercayai karena kooperatif dan konstruktif.

8.    Eric Berne (Gerald Corey,terjemahan E.Koeswara,1988:157), merupakan tokoh terapi konseling Analisis Transaksional memiliki pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu :
a.       Manusia sanggup melampaui pengkondisian atau pemrograman awal (antideterministik).
b.      Manusia sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan mampu memilih untuk memutuskan ulang.
c.       Manusia memiliki kesanggupan untuk untuk tampil di luar pola-pola kebiasaan dan menyeleksi tujuan dan tingkah laku baru.
d.      Manusia memiliki pilihan-pilihan dan tidak terbelenggu oleh masa lampaunya.

9.    Aliran Humanistik, memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia. Para ahli teori humanistic (May, Maslow,Frankl, dan Jourard) mempunyai keyakinan tentang hakikat manusia, sebagai berikut:
a.         Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri
b.        Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, yang dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
c.         Manusia adalah mahluk rasional dan sadar,tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional, atau konflik.


E.       Tujuan dan Tugas Kehidupan
Hidup sebagai manusia merupakan mahluk yang memiliki kelebihan diabandingkan mahluk hidup lainnya, khususnya dalam segi pemikiran. Dengan kelebihan tersebut manusia dapat mengarahkan hidupnya sesuai dengan apang yang hendak dicapainya.
1.      Tujuan Kehidupan
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia, sejahtera, nyaman dan menyenangkan. Secara ekstrim, Freud mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu mengejar kenikmatan (pleasure principal) dan menghindar dari rasa sakit (kondisi yang tidak menyenangkan). Dapat dikatakan bahwa manusia hanya ingin menikmati kesenangannya saja dan selalu menghindar dari hal yang merugikan dirinya.

2.      Tugas Kehidupan
Prayitno dan Erman Amti (2002:10-13) mengemukakan model Witner dan Sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka, ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat itu ditandai dengan lima kategori tugas kehidupan, yaitu:
a.    Spiritualitas. Dalam kategori ini, agama digunakan sebagai sumber inti bagi hidup sehat. Dimensi lain dari aspek spiritualitas ini adalah (1) kemampuan memberikan makna kepada kehidupan,(2) optimis terhadap kejadian-kejadian yang akan datang, dan (3) diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta dalam pengambilan keputusan.
b.   Pengaturan Diri. Seseorang yang mengamalkan hidup sehat dalam dirinya memiliki ciri-ciri: (1) rasa diri berguna, (2) pengendalian diri, (3) pandangan realistik,(4) spontanitas dan kepekaan emosional, (5) kemampuan rekayasa intelektual, (6) pemecahan masalah, (7) kreatif, (8) kemampuan berhumor, dan (9) kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
c.    Bekerja. Dengan bekerja seseorang akan memperoleh keuntungan ekonomis (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan), psikologis (rasa percaya diri, dan perwujudan diri), dan social (status dan persahabatan).
d.   Persahabatan. Persahabatan merupakan hubungan sosial, baik antar individu maupun dalam masyarakat secara lebih luas, yang tidak dapat melibatkan unsur-unsur perkawinan dan keterikatan ekonomis. Persahabatan ini memberikan tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan material, (3) dukungan informasi.
e.    Cinta. Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling kerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak,dan teman merupakan tiga pilar paling utama bagi keseluruhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perkawinan dan persahabatan secara signifikan berkontribusi kepada kebahagiaan hidup.
Paparan mengenai hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir atau nalar (nadhar) para ahli mempunyai implikasi kepada layanan bimbingandan konseling. Dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap klien yang seyogyanya didasarkan kepada harkat dan martabat kemanusiaannya manusia.

F.       Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling bagi Bangsa Indonesia
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern seperti yang dijabarkan dalam hakikat manusia di atas.
Bagi bangsa Indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah Pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut, yaitu:
1.    Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan koseling tersebut adalah memfasilitasi individu/peserta didik agar mampu:
a.    Mengembangkan potensi, fitrah, atau jati dirinya sebgai mahluk Tuhan, dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaran-Nya.
b.    Mengembangkan sifat-sifat yang positif,seperti respek terhadap harkat dan martabat diri sendiri dan orang lain, dan bersikap empati.
c.    Mengembangkan sifat kooperatif,kolaboratif, toleransi,dan altruis(ta’awun bilma’ruf)
d.   Mengembangkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain,bersikap terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat.
e.    Mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan dan pekerjaan)
2.   Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersifat respek, terhadap orang lain, mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
3.   Perlunya melakukan penataan lingkungan (fisik dan social budaya) yang mendukung terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya yang bisa diimplementasikan, yaitu :
a.    Menata lingkungan hidup yang hijau berbunga dan bersih dari polusi udara, air dan limbah/sampah.
b.    Mencegah atau memberantas kriminalitas, minuman keras, judi, dan penggunaan obat-obat terlarang (seperti narkoba/Naza).
c.    Menghentikan tayangan-tayangan televisi yang merusak nilai-nilai Pancasila, seperti tayangan yang merusak aqidah dan akhlak (moral) warga masyarakat, terutama anak-anak dan remaja.
d.   Memberantas korupsi dan melakukan clean government (pemerintahan yang bersih)

DAFTAR PUSTAKA

Hall,Calvin,S. (1995). Introduction to Theories of Personality. United States : Public Art Collection
Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah Akdemik). Jakarta
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Corey, Gerlald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Suherman, Uman. 2009. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rizqi Press
Yusuf,S.,& Nurishan,J. 2009. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf,S.,& Nurishan,J.2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar